Orange Juice for Integrity: Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
"Setiap orang, siapapun, dan apapun jabatannya, harus taat kepada hukum"
Ratusan ribu orang menangis, bersedih, dan berduyun-duyun mengantar ke Imogiri, Kkompleks Pemakaman Raja-raja Mataram, pada Oktober 1988. Tak sedikit dari mereka meratap ingin melihat wajah Sultan Hamengku Buwono IX yang mangkat pada 2 Oktober tahun iu di Washington DC, Amerika Serikat. Sri Sultan yang bernama asli Bendoro Raden Mas Dorodjatun memang memiliki tempat tersendiri di hati rakyat Yogyakarta, bahkan Indonesia. Ia dikenal sebagai sultan yang demokratis, merakyat, dan setia kepada NKRI. Naik tahta pada 18 Maret 1940, ia terlibat langsung dalam pergulatan negeri ini dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Peran besar Sri Sultan Hamengku Buwono IX antara lain saat menjadikan keraton sebagai benteng persembunyian para pejuang yang bertempur melawan tentara Belanda. Ia juga sempat menyerahkan cek senilai enam juta golden pada tahun 1948 bagi kepentingan Republik Indonesia.
Lahir di Yogyakarta pada 12 April 1912, Sri Sultan sejak kanak-kanak mendapatkan pendidikan bercorak Belanda. Bahkan, selepas tamat dari Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung, ia melanjutkan studi di Faculteit Indologie Universiteit LeidenI, Belanda. Meski begitu, ia tak tercabut dari akarnya. Saat pulang ke Indonesia dan diangkat sebagai sultan, ia menegaskan bahwa dirinya tetaplah orang Jawa.
Sejak Indonesia merdeka, Sri Sultan ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, ia pun beberapa kali diangkat sebagai menteri. Antara lain menteri negara dalam Kabinet Syahrir III dan Kabinet Hatta, deputi perdana menteri dalam Kkabinet Natsir, menteri pertahanan di Kabinet Wilopo, serta menteri koordinator bidang ekonomi, keuangan, dan industri Kabinet Ampera. Puncaknya, ia menduduki kursi wakil presiden pada 1972-1978.
Surat Tilang untuk Sultan
Pada pertengahan 1960-an, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengendarai sendiri mobilnya ke luar kota, tepatnya ke Pekalongan. Entah mengapa, Sri Sultan saat itu melakukan kesalahan. Dia melnggar rambu lalu lintas. Malang bagi Sri Sultan, seorang polisi yang tengah berjaga memergokinya. Tak ayal, priiittt... Polisi itu pun menghentikan mobil Sri Sultan.
"Selamat pagi!" ucap Brigadir Royadin, polisi itu, sambil memberi hormat dengan sikap sempurna. "Boleh ditunjukkan Rebewes (surat-surat kelengkapan kendaraan berikut surat izin mengemudi)". Sri Sultan tersenyum dan memenuhi permintaan sang polisi. Saat itulah sang polisi baru tahu bahwa yang ditindaknya adalah Sri Sultan. Brigadir Royadin pun gugup bukan main. Namun, dia segera mencoba memperbaiki sikap demi wibawanya sebagai polisi. "Bapak melanggar verbodden. Tidak boleh lewat sini. Ini satu arah!", kata dia. "Benar, saya yang salah," jawan Sri Sultan. Ketika melihat keraguan di wajah sang polisi, beliau berkata, "Buatkan saja saya surat tilang."
Bahkan, tak lama kemudian, dia meminta Brigadir Royadin bertugas di Yogyakarta dan menaikkan pangkatnya satu tingkat. Alasannya, Royadin dianggap sebagai polisi yang berani dan tegas.
Sopir Mbok Bakul
Jip Willys itu berhenti seketika kala seorang mbok baluk, wanita pedagang gendong hasil desa memintanya menepi. Pengemudinya lantas turun dan membantu menaikkan karung-karung yang hendak dibawa si mbok ke Pasar Kranggan, Jetis, Yogyakarta. Si mbok memang terbiasa menyetop oplet yang lewat dan membayar satu rupiah untuk sekali jalan. Di sepanjang perjalanan, tak ada hal yang aneh. Si mbok berbincang santai dengan sopir jip itu. Keanehan baru terlihat saat mobil tiba di pasar. Sejumlah pedagang terperangah melihat si mbok turun dari jip itu. Apalagi ketika menyaksikan sopirnya menurunkan karung-karung milik si mbok. Meski begitu, si mbok yang fokus pada barang-barang bawaanya tak memperhatikan hal tersebut. Begitu setelah bawaanya turun dari mobil, si mbok mengeluarkan uang dari balik kembennya untuk diberikan kepada sopir yang telah mengantarkannya itu.
"Berapa ongkosnya Pak Supir?"
"Wah.. Nda usah Bu"
"Walah Pak Sopir. Kayak ndak butuh uang saja."
"Sudah tidak, Bu. Terima kasih."
"Lho, kurang toh? Biasanya saya kasihnya juga segini."
"Ndak apa-apa Bu, saya cuma mau membantu."
"Sudah merasa kaya toh, Pak Sopir ndak mau terima uang?"
Sang sopir hanya tersenyum, lalu pamit keluar dari pasar. Si mbok terus mengumpat danmenggerutu meski sang sopir jip telah berlalu. Tiba-tiba saja seseorang telah menegurnya, "Mbok tahu siapa orang yang tadi itu? Beliau adalah Sampeyan Dalem." Mendengar itu, si mbok seperti disambar petir, pingsan. Pasalnya, Sampeyan Dalem adalah sebutan para kawula Ngayogyakarta bagi sang raja, Sultan Hamengku Buwono IX.
Cerita itu sangat populer di kalangan kawula Ngayogyakarta. Sebuah kisah yang membuktikan sikap mulia Sultan Hamengku Buwono IX. Meski menjadi raja, ia tak lantas besar kepala dan gila hormat.
Sumber:
ORANGE JUICE FOR INTEGRITY Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Kedeputian Bidang Pencegahan
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
2015
Comments
Post a Comment